11 Januari 2015 | Minggu.
Berarti semalem adalah malam minggu. Malamnya para pemuda
pemudi memamerkan pasangannya masing-masing
Ah, itu mereka. Sementara aku, semalem terjebak bersama
para single ladies and single man.
Sudah menjadi kebiasaan bersama mereka jika aku adalah
anak termuda. Maklum, mereka Mba Ina, Mas Rudi adalah manusia manusia lama di
Bumi (23)
Dan sialnya, kok malah ngebahas sesuatu yang sudah lama
aku buang.
Tentang pasangan. Cinta. Menikah. bla bla bla
Berawal ketika menceritakan tentang Mas Very (pacar 8
tahunnya Mba Ina | lama banget yak?)
Berhubung Mas Very kenyataannya sangat disappointed
banget, maka banyak hal yang di ceritakan tentangnya. Tak pernah habis topik
yang mereka bicarakan. Aku mendengarkan dengan seksama.
“Aku kie bodoh opo
sabar to Rud, kok iso sampe saiki tak tunggu de’e?”
“Opo ya? Aku yo piye ya. Nek koe tenanan karo wonge kui
yo ora bodoh. Kui jenenge pengorbanan. Usahamu. Apik”
Perlu diketahui, Mas Very adalah cowok berusia 23 tahun yang
saat ini sedang menempuh S1 Teknik Mesin di UNS. Dengan umur sebanyak itu,
seharusnya, senormalnya para lelaki adalah dengan menjadi lelaki yang bisa
diandalkan. Bertanggung jawab. Dewasa. Membimbing. Pikirannya jauh kedepan. Penuh
pertimbangan. Tenang. Bijak.
Tapi, kenyataannya semua kebalikan itu ada di diri Mas Very.
Entah karna memang dewasanya telat atau gimana aku tak mengerti. Tapi jika
mendengar cerita kedua orang ini yang telah lama bersama Mas Very, aku
menyimpulkan bahwa memang perilaku itu dicetak oleh pribadi orang itu sendiri
dan dari keluarga.
Bersyukurlah jika saat ini telah lahir di dalam keluarga
yang bisa membuat kita memiliki peribadi yang seperti ini. Bisa punya teman
yang lebih dari 1 atau bahkan 2 itu sudah bersyukur. Tak banyak orang memiliki
itu. Teman yang betah dengan sikap dan prilaku kita.
“Mboh ya, wonge kui
ra ndue pekewoh. Santai wae. Ra ndue roso njogo atine koncone.” Sesekali Mas Rudi curcol.
“Mboh og Rud, wonge
sak yahene rung mikir nikah opo neh mikir ke aku. Aku keburu tuo lek nunggu de’e.
Kui ra mikir. Ra tekan pikirane”
“Koe mikir rak, de’e nyambung sekolah S1 mergo rung siap
kerjo. Rung siap hidup dewe lepas karo wong tuo ne. Lek jik kuliah kan jik di
openi wong tuo ne”
“Ho’o ya. Mungkin yo kui Rud. Ra iso mikir dewe. Rung
siap gede kui”
Percakapan dua orang lama itupun terus berlanjut
memunculkan fakta-fakta tentang betapa belum dewasanya, belum matangnya Mas
Very sebagai orang yang akan Mba Ina jadikan sandaran hidup.
“Mba, kok bisa betah kalau memang Mas Very sedisappointed
itu?”
“Yah makane kui,
coba aja lek aku ketemu koe-koe seko mbiyen-mbiyen, mesti aku wis ora karo
kui.” Dengan bahasa Jawanya anak muda di yang sering aku dengarkan di Solo
ini.
“Tapi kau hebat Mba, bisa selama itu. Jujur aku iri. Iri
sama orang-orang yang bisa pacaran selama itu. Aku pacaran paling lama 2 tahun
itu sudah alhamdulillah. Setelah itu gak pernah lagi. Susah”
Mas Rudi nyaut
“Weh, koe cuma
semono?”
Aku hanya mengangguk dan tenggelam lagi
dengan khayalanku sendiri
“Lah,
lek koe Rud, ngopo kok susah ndue yang? Koe terlalu idealis menurutku. Gak bisa
mentolerir. Kalo gak sesuai dengan apa yang koe pikir, wis koe ora wae. Ngono
to?”
“Piye ya? Yo soale wis ra cocok. Wis bedo. Ngopo lek wis
bedo di paksa-paksa ben cocok. Ra nyaman.”
Hasil percakapan yang mereka lakukan
aku rangkum seperti ini.
Mba Ina berpikir kalau Mas Rudi terlalu
sibuk dengan bola nya. Perlu diketahui. Walaupun modelnya Mas Rudi seperti itu,
tapi dia adalah pemain bola yang kece badai menurutku. Bisa lah di banggain
sama siapapun yang mengenalnya. Punya banyak teman. Asik. Dewasa. Apa lagi
coba?
Mas Rudi sendiri cerita bahwa beberapa
temannya sering mengatakan kalau dia harus memilih antara bola dan pasangannya.
Mas Rudi tipe orang yang tidak bisa meninggalkan bola. Mba Ina pernah bertanya
misalnya ketika acara jalan sama pacar dan bertepatan dengan jadwal latihan
pasti milih bola daripada pacar. Dan itu di iyakan Mas Rudi sambil tertawa
cengengesan -_- | dasar cowok gila bola. Bahkan, pacar aja kalah sama bola.
Pantes susah dapat cewek
Lanjut, Mas Rudi mengatakan kalau dia
disarankan temannya untuk vakum bola dan fokus mencari pacar. Kalau dua-duanya
dijalankan, pasti akan lepas semua. Dua hal yang sama-sama berat bagi Mas Rudi.
Aku tergugah.
Apa aku juga harus seperti itu. Setiap
menjalin hubungan, pasti prinsip yang membuatnya seperti jurang pemisah.
Mungkin bukan mereka yang bermasalah. Tapi, mungkin aku yang bermasalah. Aku
terlalu membawa prinsipku kedalam hubungan yang aku jalani. Aku terlalu jauh
mengkhawatirkan kalau nanti dia jadi suamiku, kalau nanti kita menikah, kalau
nanti dia akan seperti ini terus.
“Ohh come on, itu masih lama kali Yul.
Kau itu masih muda. Santai lah” saut Mba Ina
“Iya santai. Trus ntar kayak Mas Very
gitu. Sampai 8 tahun kau tunggu, pacaran dari SMA kelas 1 sampai sekarang kau
sudah lulus S1 masih gitu-gitu aja terus sifatnya, gak berubah-berubah. Trus,
mau gitu nikah sama orang kayak gitu? Kudu berapa tahun lagi kau nunggu dia
Mba? Aku takut seperti itu. Aku takut menyia-nyiakan waktuku dengan orang yang
tak pantas aku tunggu”
Aku juga berpikir karna aku anak
pertama Ibu Bapakku. Aku hanya tidak ingin mengecewakan mereka. Aku hanya ingin
menjadi orang yang bisa diandalkan Ibu Bapak dan Adikku satu-satunya itu.
Sudah berapa banyak aku mencoba
menjalin hubungan? Banyak, dan?
Selalu gagal.
Saat ini, aku sedang dalam masa
menunggu Rio.
Selama 3 bulan ini aku menjalin
hubungan dengannya. Tapi, selama itu, aku sudah bisa menebak apa yang akan
terjadi. Aku menebak kalau dibulan Januari nanti (sekarang) pasti akan menjadi
titik jenuh ku mentolerir.
Iya, masalah prinsip.
Dia tipe orang yang santai menjalani
hidup, kuliah, uang, orang tua dan apapun. Dan aku kebalikannya
Dia tipe orang yang tidak terlalu
mengambil perasaan. Tidak ambil pusing. Sehingga terkesan cuek, tidak peduli
dan acuh. Dan aku kebalikannya
Dia menyayangiku dengan cara santainya.
Dan aku, menyayangi dia dengan cara mengejar dan membentuknya.
Iya, aku salah. Aku salah karna aku
membentuknya sesuai dengan apa yang aku inginkan.
“Kau harus bisa lulus tes BTA (karna
wajib bagi mahasiswa di kampusku). Kau jangan boros. Jangan mabuk-mabukkan.
Jangan tidur malam-malam. Jangan bolosan. Jangan ini, jangan itu....biar cepet
lulus, trus wisuda, trus kerja.....”
Aku tau dia muak.
Aku juga muak.
Aku juga muak.
Aku muak dengan sifatku yang terlalu
berpikir jauh itu.
Sehingga siapapun yang menjalin
hubungan denganku tidak nyaman, pun aku. Aku tidak nyaman bila pacarku
(apapunlah sebutannya) tidak memiliki tujuan/prinsip yang sama denganku. Paling
tidak, prinsipnya bisa aku katakan bagus walau tidak sejalan denganku, aku
hargai itu. Tapi aku tidak bisa menghargai kesantaian.
Salahkah aku?
Salahkah aku Mba, Mas?
“Tidak. Tetaplah seperti ini. Yang
penting kamu sekarang tegas dengan Rio,
biar gak digantung seperti ini”
Ahhh
Pasangan itu, bukan tentang sesempurna
apa dia, sekaya, secakep apa dia, sepintar dan sekeren apa dia. Tapi, pasangan
itu adalah sesuatu yang membuat kita terus bisa melangkah, entah beriringan
atau dibimbing atau membimbing. Membuat kita bahagia bisa memilikinya. Tak ada
kata bosan karna bosan itu akan selalu ada dimanapun. Bosan cukup diganti
dengan kata “Kita buat hal baru apa lagi? Kita kemana lagi? Kesana yok? Makan
es yang disana yok? Kerumahmu yok, aku pengen main sama adikmu atau Ajari aku main
bola dong?”
Banyak hal-hal gila yang bisa
dilakukan. Banyak aktivitas yang bisa dilakukan. Banyak kata yang bisa
menggantikan kata bosan, lelah, menyerah.
Sayangnya, setiap orang memiliki
kesukaan masing-masing. Kesukaan untuk saling memendam. Gegsi. Dan terlalu naif
untuk mengakui.
Sesusah itu kah memulai sesuatu hal?
Apa serendah itu jika ada seseorang yang memulai sesuatu?
Sengenes itukah orang yang sedang berjuang dalam mempertahankan hubungannya?
Apa salah kalau aku sedang mempertahankanmu?
Jujur, aku ngerasa sayang dengan
hubungan Mba Ina dan Mas Very. Tapi mau diapa, toh juga Mba Ina merasa sudah
saatnya melepas Mas Very. Mencari orang yang bisa membuatnya percaya dengan
kepastian. Memberi ketegasan. Bukan hanya berlindung dari kata cinta, sayang
dan harus menunggu.
"Kalau sayang, kamu pasti mau menungguku"
"Kalau jodoh juga gak kemana. Mau ya gini, gak mau ya sudah"
Pecundang
Madefaka :D
Akhirnya, pulang sampai rumah jam 1
malam dan dengan apesnya ketahuan Pakde dan Mas Rudi diusir secara halus tapi lumayan
nusuk :P
Malam minggu kelabu ya Mas :D
Komentar
Posting Komentar