Langsung ke konten utama

Bisa kita akhiri kepura-puraan ini? Sekarang?

Ketika kita mulai berbeda. Ketika semua tak lagi sama. Ketika ada orang lain yang datang dan pergi. Ketika masalah sering muncul dan tenggelam dan ketika lebih nyaman bila sendiri
Yang dulu merasa bahwa kita sama, kini perbedaan memberi batas yang tampak jelas. Yang dulu kita beranggapan bahwa kau dan aku adalah kepingan puzzle yang terpisah kini mulai tampak ada paksaan. Yang dulunya selalu ingin tertawa bersama, kini mulai mencari tawanya sendiri.

Dulu kamu adalah hal indah yang selalu bisa membuatku tersenyum. Tawa dan binar tak bisa lepas saat aku bersamamu. Namun kini, bulir bulir airmata saja yang sering aku dapatkan ketika aku beradu denganmu. Kadang aku memilih mengatakan “lupakan” ketika kita sedang beradu tentang apapun. Tapi sebenarnya itu menyisakan kesedihan di sudut hati.

Aku menyayangimu....

Aku mulai tak nyaman dengan kita yang sekarang. Terlintas untuk mengakhiri adanya kita. Terlintas untuk pergi dan memilih melupakan semua yang pernah terjadi. Menganggap kamu tak pernah ada.
Tapi..

Harapan yang selalu membuatku kembali padamu
Berharap agar waktu bisa terulang kembali. Berharap aku dapat merasakan kamu seperti dulu. Berharap kamu adalah teempat terakhir yang Tuhan sediakan untukku
Perlahan aku belajar menerima kamu. Menerima kebiasaanmu, menerima sikapmu, menerima gaya bahasamu, menerima cara berpikirmu, dan apapun itu aku berusaha belajar menerima.
Mungkin kalau dikatakan aku bisa, ya aku bisa. Tapi ada hal yang selalu mengganjal. Ada keresahan dan ketidaknyamanan yang selalu aku tutup-tutupi. Secara aku sadari, aku berpura-pura meenjadi orang lain. Berpura-pura menerima. Berpura-pura nyaman. Berpura-pura tak ada apa-apa.

Aku lelah...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sampai Nanti :)

Backsound by Threesixty-Sampai Nanti Halo malaikatku. Sekarang kau telah menjadi salah satu bintang yang sampai sekarang masih dapat ku lihat terangnya. Sejak banyaknya angin menghempas tali diantara kita, perlahan aku mengiyakan mu menjadi salah satu bintang di langitku. Siang ini langit mendung, dan tugas-tugasku pun sudah selesai ku kerjakan. Rasanya kalau kau sudah tak berada di sisiku pun sekarang aku terbiasa. Dan mungkin ini adalah cerita terakhir ku tentangmu. Dimana kan ku simpan semua harapan ini disaat ku temui, jalan yang tak bertepi Tak pernah ku lupa bagaimana kita dulu meminta saling menjaga satu sama lain. Menjatuhkan pilihan padamu dan padaku. Berharap jika ini nantinya berjodoh. Satu tiga lima tujuh bulan berjalan. Seperti hubungan lainnya kita diterpa berbagai masalah. Delapan sepuluh dan satu tahun hubungan kita terlalui, ada banyak hal yang dapat kita ambil sarinya, ilmu bahkan pahitnya rasa.   Seiring redup hati selimuti senyummu ta...

22 Agustus 2012

Ku melihatnya di.bawah, mengambil sebuah cincin, berwarna biru. Aku berteriak “maling”!!! Dia mendatangi.ku. “Kenapa?” kata.ku. Dia menunjuk sebuah foto. “Itu ayahmu yah, kalo dia kenapa-kenapa gmna yah?” “Kau mau apain ayah.ku, nda akan bisa kau apa-apain dia, kau tu Tar, knpa juga kau begitu, mau sampai kapan kau begini. Senang.kah kau dibicarakan orang, senang kau dibenci sama orang, sudahlah Tar, tua bha sudah kita nie.” Aku terdiam sejenak, mengambil napas panjang, dan tanpa aku sadari aku mengatakannya.  “Sebenarnya aku tu sayang bha sama kau Tar (wajahnya terlihat kaget), tapi ya…” Mata.ku terbuka. Aku terdiam. Wajahnya masih ku ingat jelas, hingga aku menuliskan ini, senyum kagetnya itu masih terasa berada di depanku. *Tar = Muktar *Muktar = Temen SDku yang pernah aku suka waktu itu, dan sekarang dia sudah berada ditempat yang berbeda. I hope he Rest In Peace :)

Maafkan Penulis karna sedang melewati masa-masa kritis

Waktu kembali meminta ragaku dan ragamu saling menjauh. Perlahan hati ini mulai mencari jalannya sendiri. Mulai meniti kesedihan yang pernah terukir. Sempat aku menyesal memulai kisah yang hampir sempurna ini. Hati ini kembali menggetarkan pipi. Mengundang tangis yang hampir saja mereda. Mata ini melihat sesosok rasa yang mencoba disembunyikan. Sia sia. Rasa itu mengoyak keluar. Menggores hati yang selama ini mencoba mengekang. Kini rasa itu menghancurkan segalanya. Malam ini aku kembali menjerit dalam doa. Tangisku tumpah turun membasahi penutup shalatku. Doa yang terpanjatkan lebih terdengar seperti lolongan minta tolong. Ini titik terlemahku. Aku baru saja bertemu kembali dengan dia yang entah masih aku cinta atau tidak. Pertemuan singkat namun mampu membuatku kembali harus membangun benteng pertahanan. Kalau boleh aku meminta, aku tidak ingin pertemuan kemarin terjadi. Air mataku semakin deras turunnya. Kembali aku mengusap air mata ini. Menahan rasa sesak ya...