Langsung ke konten utama

Wahyu Wijaya :)



28 Oktober 2013

Cerita terpanjang yang pernah aku buat dalam semalam.

Pasti pernah ngerasain punya temen deket? Apalah itu namanya, sahabat, best friend atau terserah deh mau nyebutnya apa. Yang pasti, lebih dari sekedar teman.

Entah apa bedanya teman dengan sahabat. Sampai sekarang, aku masih belum mengerti. Banyak temanku bilang kalau sahabat itu lebih dari teman. Maksudnya lebih dari teman gimana? Itu yang aku nggak bisa pahami.

Yah terserahlah apapun itu, yang pasti kalau kita ngebahas pendapat orang nggak akan ada habisnya.

Sama seperti dia.
Wahyu Wijaya.
Biasa aku memanggilnya Yu.
Entah apa sebutan yang tepat untuknya. Tapi bagiku, dia lebih dari sekedar teman, lebih dari sekedar sahabat.

Ku buka kembali buku coklat yang selama ini menemaniku. Ku buka bagian dimana aku menuliskan tentangnya.
Entah kebetulan atau tidak, ternyata memang hari ini, tanggal 28 identik dengan tanggal kepergiannya. Pas saat dimana hari ini juga aku merindukannya.

Kembali ku ingat masa dimana pertama kali aku mengenalnya.

2009
Dia dan keluarganya baru pindah dari Bali dan tinggal didaerah sekitar rumahku. Dan kebetulan juga, dia memilih sekolahku menjadi tempat lanjutannya untuk belajar.

Nggak perlu waktu lama untuk kami bisa akrab. Pernah waktu itu setelah selesai shalat di Masjid, dia mencegatku. Mengajakku berkenalan, meminta nomor telponku. Tanpa pikir panjang, aku memberinya. Karna aku pikir, dia pasti kesepian, dia butuh teman.

Beberapa jam kemuadian setelah itu, dia menghubungiku. Memperkenalkan namanya, menanyakan namaku, biasalah seperti awal.awal orang yang baru kenalan.

Hari demi hari berlalu. Kami pun semakin akrab. Dia menjadikanku tempatnya berkeluh kesah tentang semua masalahnya. Dia membuatku menjadi merasa berarti untuknya.

Tiba pada suatu siang itu, dia membuatku tak bisa berkata apa-apa
“Yul, aku boleh minta sesuatu?”
“Minta apa Yu?”
“Kamu mau nggak jadi sahabatku Yul?”

Yang tadinya manggil aku dengan sebutan “Ces” (sama seperti broo). Kali ini dia menyebut namaku.
Percaya atau tidak, dialah orang pertama yang memintaku menjadi sahabatnya.
Selama ini, kalau aku berteman dengan teman-temanku, nggak pernah tuh seperti itu. Ya mengalir aja. Temenan ya temenan.
Tapi, yang aku rasakan dengannya itu, berbeda sekali.

“Iya Yu, aku mau kok jadi sahabatmu. Senang banget kalau aku bisa jadi sahabatmu dan selalu ada buat kamu”

Sejak saat itu, kami pun semakin akrab. Nggak dimasjid, nggak di rumah, nggak disekolah, selalu bareng. Sampai-sampai, teman-temanku menganggap kami punya hubungan khusus. Padahal mereka tidak tahu, dia sedang menyukai temanku. Tetangga ku tepatnya.

Adalah cerita dimana aku berusaha menyatukan mereka | ciah menyatukan, emank kayak jodoh yang udah lama nggak ketemu gitu.

Dan sempat beberapa minggu (kalau nggak salah) mereka bersama. Ntah aku lupa alasan bubarnya mereka.

Ada juga kala dimana aku dan dia menjauh. Aku lupa masalahnya apa. Yang pasti beberapa bulan kami tidak saling berhubungan. Dia marah sama aku. Salah paham sepertinya. Itu yang aku ingat

Tiba saat dimana aku sangat menyesal.
Karna aku dan dia sudah lama nggak berhubungan. Aku juga tidak tahu kalau selama ini dia sudah nggak lagi masuk sekolah.
Setelah sebulan lamanya, aku tahu kalau dia sakit.

Sebelum itu juga dia pernah sesekali mengeluhkan sakitnya kepadaku. Tapi aku kira hanya sakit ringan biasa.
Tapi tidak. Dia sakit, benar-benar sakit.
Dia Leukimia.

Entah bagaimana perasaanku kala itu.
Hancur, mungkin.
Disaat seperti ini aku nggak bisa menemaninya. Dia dirawat di Surabaya. Terakhir aku melihatnya itu pun sudah lama sekali.

Aku menunggu, menunggu kabar darinya.

Bulan pun berlalu.
Hingga berganti Tahun.

2010
Aku mendatangi rumahnya. Hanya ada ayahnya saja disini.
Lumayan lama aku ngobrol dengan Ayahnya. Menanyakan kabar anaknya. Kabar sahabatku, yah sahabatku (sepertinya).

Aku mendapatkan nomor telponnya dari Ayahnya. Ayahnya menyuruhku untuk menghubunginya. Ayahnya bilang kalau anaknya hanya butuh semangat. Dia memintaku membantunya.

“Nanti aja kalau misalnya Wahyu udah bisa bicara lancar ya”
“Loh, memangnya Wahyu kenapa Om”
“Kalau kadang sakitnya lagi kumat, dia susah bicara. Pegang hp dan ngetik sms itu ya baru-baru ini”
Aku miris membayangkan keadaan Wahyu seperti itu.

Ini kesempatanku untuk membantunya. Memberinya semangat untuk terus berjuang dan jangan lelah melawan penyakitnya. Selalu ku ingatkan dia tentang Ibunya (Ibu baginya adalah hal terpenting dalam hidupnya, siapapun dia yang membuat Ibunya menangis akan dia lawan sekalipun itu Ayahnya sendiri)

Aku mencoba menghubunginya. Menghubungi sahabatku yang sungguh sudah lama sekali tidak bersua. Sambil sesekali terlintas bayangku akan penyakit yang dideritanya. Sambil kuhapuskan pikiran burukku yang sempat terlintas.

Pada suatu saat. Saat dia mau menjalani kemoterapi yang kesekiankalinya dia menghubungiku. Dia meminta doaku untuk kelancarannya. Benar-benar aku tak bisa menahannya lagi. Dengan suara sesenggukan ku kuatkan hatiku untuk terus menyemangatinya, untuk selalu membuatnya percaya kalau dia akan sembuh. Sembuh. Dan kembali kesini.

Benar. Dia berhasil menjalaninya. Kemoterapi terakhir yang dia jalani berhasil. Sekitar satu bulanan dia sudah tidak lagi tidur di Rumah Sakit. Ayahnya cerita kalau nanti dia sembuh, dia minta untuk dibelikan gitar baru. Yah, Ayahnya menepatinya. Ayahnya membelikannya.

Keadaan ini tak lama. Tepat pada malam itu 28 Desember 2010 hpku berdering. Alarm. Bertuliskan “ingat”

Oh iya, aku dulu beberapa bulan yang lalu sempat menyimpan pengingat di hp ku. Iseng saja sih. Kadang aku suka menebak-nebak tanggal dan kejadian aneh dihari tertentu. Dan hari ini, sampai alarm itu berdering pun tak ada yang istimewa.

Baru saja alarmku itu berdering. Handphone ku berdering lagi. Kali ini sebuah panggilan masuk.

“Halo, Assalamualaikum”
“Walaikumsalama, Yul”
“Iya, kenapa”
“Yul, Wahyu. Wahyu udah nggak ada”

Waktu terasa berhenti. Telingaku seakan-akan berdenging kuat.
Mirip seperti yang disinetron-sinetron
Belum sempat panggilan itu mati, sudah terlepas handphone itu dari telingaku.

Mulutku terkunci.
Hatiku berteriak.
Nggak mungkin. Nggak mungkin Wahyu ninggalin aku, nggak mungkin dia ninggalin aku tanpa ucapan slamat tinggal. Nggak mungkin. Bohong kan. Ini becanda kan

Air mata ini sudah mengalir deras.
Aku berlari, keluar dari kamarku.
Aku mencari Ibuku.
Aku teriak memanggil Ibuku.
Aku memeluk Ibuku

Sambil terus menangis ku katakan
“Bu, Wahyu Bu, Wahyu. Wahyu udah nggak ada Bu”
“Innalillahiwain’na ilaihi rojiun. Siapa yang bilang?”
“Tadi temen Yuli telpon. Tapi Bu, Yuli nda percaya. Waktu itukan dia sudah sembuh”
“Yuli sekarang kerumahnya saja, sama Trias sana (mantannya Wahyu, tetanggaku)”

Ku lepaskan pelukanku.
Aku berlari. Aku sampai di rumah Trias.
Aku langsung menarik tangannya. Tak sempat ku jelaskan apa.apa.
Pokoknya, yang ada dipikiranku saat itu harus segera sampai disana. Walau ada perasaan takut kalau semua itu benar.

“Yul, kenapa?”
“Wahyu Yas, Wahyu”
......... (dia diam)
Mungkin dia mengerti maksudku.

Sambil sedikit berlari, kami tiba disana

Sama seperti dulu, yang aku lihat disana hanya Ayahnya
“Om, Wahyu?”
“Yul, Yas,,,, Wahyu udah tenang. Jangan ditangisi ya. Om atas nama Wahyu minta maaf ya kalau selama ini Wahyu ada salah sama kalian. Maafin Wahyu ya Yul, Yas. Dan terima kasih selama ini udah jadi temannya Wahyu”

Tenggorokanku terasa tersekat, sakit sekali.
“Kapan Wahyu perginya?”
“Tadi sekitaran magrib. Besok om juga mau nyusul kesana, ngurus pemakamannya”
“Dimakamin dimana om, nggak disini?”
“Nggak Yul, di kampung aja”

Udah, kelar semua kelar. Aku nggak sempat liat dia bahkan sampai dia pergipun tidak.

Ternyata Trias yang dari tadi hanya diam saja, dia lebih banyak menangis. Diam sesenggukan.

Setelah itu, kami pulang kerumah masing-masing. Aku langsung menuju ke kamarku. Memuaskan semua emosiku.

Ada apa sih Tuhan.
Tanggal yang lama aku tunggu ternyata tanggal kepergiannya.

***
Beberapa hari setelah itu. Pada suatu siang, ibunya menghampiri rumahku.
“Assalamualaiakum, Yul” (masih dengan logat Balinya)
“Walaikumsalam. Eh Ibu, iya bu. Kapan datang?”
“Kemarin Yul”
“Ayo Bu, masuk”
“Nggak, disini aja adem”

Kami pun duduk di teras depan rumahku.
“Wahyu itu baik betul anaknya. Sayang sekali sama Ibu”
“Kalau Ibu mau pergi kemanapun pasti dia nganter Ibu. Kerumah Yuli aja dianterin kan”
Aku mulai coba mendengarkan.

“Dokter disana sampai heran Yul. Biasanya Leukimia itu nggak sampai selama ini waktu hidupnya. Dokter disana bilang kalau Wahyu punya semangat yang kuat untuk sembuh”
Tak terasa, Ibunya menangis.

Aku hanya tersenyum.
“Lalu Bu, bukannya kemarin sempat sembuh kan ya?”
“Iya, udah sembuh. Tapi setelah itu dia pingsan lagi. Kalau nggak salah sore-sore gitu dia bangun lagi. Trus koma 2 hari sampai tanggal 28 sekitar magrib dia langsung nggak ada”
“Jadi, sempat bangun?”
“Iya, waktu bangun itu dia bilang sama Ibu kalau misalnya Wahyu udah nggak ada, Ibu jangan nangis terus. Dia bilang kalau dia sayang sekali sama Ibu”

Ibunya sudah tak mampu lagi menahannya. Dia benar-benar menangis.
Tak terasa, setetes air mata ini juga tak mampu bertahan.

Setelah dia agak kuat, dia hapus air matanya. Dia melanjutkan lagi.
“Wahyu juga bilang gini, Bu, Wahyu senang betul punya teman seperti Yuli. Cuma Yuli yang bisa ngerti perasaan Wahyu. Tapi Wahyu banyak salah sama Yuli Bu. Nanti sampaikan maaf Wahyu buat Yuli ya Bu”

Bahkan, dalam keadaan seperti itupun dia masih mengingatku.
Hatiku mulai meronta. Apaan sih Yu, salah apa? Aku yang salah nggak bisa ada disampingmu disaat sulitmu.
Kali ini aku yang tidak tahan. Aku menunduk. Aku menangis. Benar-benar menangis.

Tiba-tiba ada yang mengusap-ngusapku (aku lupa bagian mana yang diusap | kagak penting >_< | fokus)
Ya, Ibu Wahyu menenangkanku. Entah apa yang aku rasakan ini. Nyaman sekali. Aku merasa seperti sedang bersama Wahyu sekarang.



Itulah kesadaran terakhirnya, setelah itu koma dan akhirnya pergi

Kini, giliran aku yang bicara
“Dulu, Wahyu sering banget cerita tentang Ibu. Dia bilang kalau dia sayang betul sama Ibu. Apapun yang Ibu katakan, pasti dia lakukan. Dia juga cerita, katanya dia cerita sama Ibu ya kalau suka sama Trias?”
“Iya Yul, Wahyu itu apapun dia cerita sama Ibu. Waktu pertama kali kenalan sama Yuli juga dia cerita sama Ibu”
“Oh ya Bu, cerita gimana Bu?”
“Katanya, Bu, anaknya temennya Bapak itu baik loh Bu. Yuli namanya. Wahyu mau jadi sahabatnya. Ibu bilang sama Wahyu. Iya, yang penting kamu temenan yang baik-baik. Waktu kalian ada masalah juga dia cerita sama Ibu. Dia malu sama Yuli katanya. Dia mau minta maaf tapi takut, ntar Yuli nda mau maafin dia”

Aku cuma bisa tersenyum.
Wahyu bego -_- Yang pentingkan aku kagak makan orang, ngapain takut coba. Padahalkan kalau dia minta maaf bisa bareng terus sebelum akhirnya kau sakit dan ninggalin aku gitu aja kayak gini
#alaynya kumat

Aku melanjutkan lagi.
“Oh iya Bu, trus waktu yang Wahyu sembuh 1 bulan itu ngapain aja dia?”
“Main gitarnya Yul. Kata dokter, untuk membantu pemulihannya dia harus disibukkan dengan apa yang dia sukai. Makanya Ibu sama Bapak belikan dia gitar. Sekarang gitarnya ada dirumah.”

“Yul, udah sore nih, Ibu pulang dulu ya. Ibu udah nyampein pesannya Wahyu sama kamu. Makasih ya sudah jadi teman buat Wahyu”
“Hehehe, iya Bu, sama.sama. Yuli juga seneng kok bisa kenal dan punya teman kayak Wahyu. Oh ya Bu, kalau ada apa.apa nda usah sungkan minta tolong Yuli ya Bu” aku malu (sambil garuk-garuk kepala nda jelas gitu)
“Iyaa Yul. Kamu sering-sering main kerumah ya temenin Ibu”
“Iya bu, insyaallah”
“Assalamualaikum”
“Walaikumsalam”

Yu, dimanapun kamu sekarang, aku senang banget bisa kenal sama kamu.
Senang karna pernah menjadi bagian dihidupmu.
Senang karna kamu membuatku merasa berarti.
Jangan khawatirkan Ibumu, aku yakin dia wanita yang kuat.
Ibu mana yang kuat melihat anaknya menderita.
Ibu mana yang kuat kalau setiap harinya harus melihat buah hatinya terbaring lemah.
Ibu mana juga yang kuat harus menerima kenyataan anaknya sedang diambang batas kematian.
Dia, ibumu yang slalu menemani setiap harimu. Yang slalu menunggu panggilan Ibu dari mu yang terbaring koma.
Dan kini, setelah semua perjuangan yang dia lakukan, dia melepasmu. Merelakanmu. Merelakanmu ketempat yang lebih baik untukmu.
Tempat dimana dia tak lagi melihatmu menahan sakit.
Tempat dimana dia tak lagi melihatmu terbaring lemah.
Tempat dimana dia tak lagi khawatir kalau kau tiba-tiba pergi meninggalkannya.

Itulah kenapa nama facebookku ada namamu Yhu.
Karna aku ingin bisa sepertimu. Memiiki hati yang halus dan tulus sepertimu, apa adanya.

Tersenyumlah Yu :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maafkan Penulis karna sedang melewati masa-masa kritis

Waktu kembali meminta ragaku dan ragamu saling menjauh. Perlahan hati ini mulai mencari jalannya sendiri. Mulai meniti kesedihan yang pernah terukir. Sempat aku menyesal memulai kisah yang hampir sempurna ini. Hati ini kembali menggetarkan pipi. Mengundang tangis yang hampir saja mereda. Mata ini melihat sesosok rasa yang mencoba disembunyikan. Sia sia. Rasa itu mengoyak keluar. Menggores hati yang selama ini mencoba mengekang. Kini rasa itu menghancurkan segalanya. Malam ini aku kembali menjerit dalam doa. Tangisku tumpah turun membasahi penutup shalatku. Doa yang terpanjatkan lebih terdengar seperti lolongan minta tolong. Ini titik terlemahku. Aku baru saja bertemu kembali dengan dia yang entah masih aku cinta atau tidak. Pertemuan singkat namun mampu membuatku kembali harus membangun benteng pertahanan. Kalau boleh aku meminta, aku tidak ingin pertemuan kemarin terjadi. Air mataku semakin deras turunnya. Kembali aku mengusap air mata ini. Menahan rasa sesak ya...

22 Agustus 2012

Ku melihatnya di.bawah, mengambil sebuah cincin, berwarna biru. Aku berteriak “maling”!!! Dia mendatangi.ku. “Kenapa?” kata.ku. Dia menunjuk sebuah foto. “Itu ayahmu yah, kalo dia kenapa-kenapa gmna yah?” “Kau mau apain ayah.ku, nda akan bisa kau apa-apain dia, kau tu Tar, knpa juga kau begitu, mau sampai kapan kau begini. Senang.kah kau dibicarakan orang, senang kau dibenci sama orang, sudahlah Tar, tua bha sudah kita nie.” Aku terdiam sejenak, mengambil napas panjang, dan tanpa aku sadari aku mengatakannya.  “Sebenarnya aku tu sayang bha sama kau Tar (wajahnya terlihat kaget), tapi ya…” Mata.ku terbuka. Aku terdiam. Wajahnya masih ku ingat jelas, hingga aku menuliskan ini, senyum kagetnya itu masih terasa berada di depanku. *Tar = Muktar *Muktar = Temen SDku yang pernah aku suka waktu itu, dan sekarang dia sudah berada ditempat yang berbeda. I hope he Rest In Peace :)

Aku Kembali dari Kematian Pikiranku

Aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai melupakan sisi diri ku yang senang menulis. Ya seperti saat ini, hari ini tanggal 17 November 2024 Tuhan mengajakku bernostalgia dengan membawa ku kembali ke masa itu. Masa dimana aku mampu menikmati hidup, merenungi setiap hal dan kejadian, mengistimewakan setiap momen yang terjadi dan tidak tau bagaimana rasanya kelelahan.  Hari ini, Tuhan mengajarkan aku bahwa beberapa tahun kebelakang adalah tanda bahwa aku hanyalah manusia. Manusia adalah tempat lupa dan lalai. Begitupun aku, yang lupa apa yang membuat aku hingga sampai disini. Ingin rasanya aku segera rangkum semuanya, tapi kalau seperti itu, aku akan melewatkan momen spesialnya dari setiap kejadian. “ Karna tidaklah terjadi suatu kejadian agar bisa kita petik hikmahnya ” ini adalah kalimat yg membayangi ku beberapa hari terakhir. Selalu terngiang dan membuatku terasa sangat sesak beberapa hari ini. Apakah mungkin karna ini? Karna Tuhan ingin aku kembali menuliskan semua momen itu untuk...