Langsung ke konten utama

Keluargaku dulu :) Kilas balik "L"

2 November 2015
Tak terasa aku telah mencapai usia yang sudah bukan usia anak-anak lagi. Sebentar lagi aku akan memasuki masa dimana bukan lagi mengurusi hal-hal yang telah terlewat. Mulai dari ini aku ingin melepaskan semua perasaan yang masih terganjal. Beban yang sebelumnya belum pernah aku bagi pada siapapun.

Sekitar bulan Oktober 2010. Siang itu tepatnya hari Jumat sekitar jam 12 siang.

Ibuku memanggil dari arah kamar tidurnya. Aku datang. Dia kemudian memintaku untuk membuka hp Ayahku. Setelah aku buka kemudian aku tinggalkan dia tanpa ada rasa curiga sedikit pun.

Beberapa menit kemudian kembali Ibu memanggilku tapi kali ini dengan nada yang tak bisa aku artikan.

“Yul, coba lihat ini. Bapakmu selingkuh sama Katarina. Pantas selama ini hp selalu dibawa kemana-mana. Ke kamar mandi pun dibawa, takut kalau ketahuan sama Ibu” (tentunya dengan nada yang semakin meninggi dan diiringi mata ibuku yang mulai berkaca-kaca) | (Aku saat itu masih duduk dikelas 1 SMA, sebagai anak yang belum terlalu paham dengan urusan cinta aku hanya bisa merasakan ketakutan saat itu. Yang aku tau selingkuh itu adalah hal buruk yang sekarang tejadi di depanku. Aku tak bergeming melihat ibuku seperti itu. Aku bisa turut merasakannya. Membaca sms itu hanya membuat aku kecewa kepada Ayahku) | “Kita tunggu Bapak, kita tanyai tentang Katarina” | Sekali lagi aku hanya bisa diam

Shalat Jumat pun selesai. Ayahku menunjukkan kedatangannya. Aku mulai semakin takut saat itu. Adikku waktu itu belum terlalu paham, sama hal nya dengan aku. Yang tadinya aku berada dikamar Ibu pun aku perlahan keluar dari kamar itu dan berganti dengan kehadiran Ayahku yang langsung di hujani pertanyaan-pertanyaan Ibu ku dengan nada yang sangat-sangat keras.
Ayahku mencoba menenangkan ibuku semampunya. Aku dan adikku hanya bisa melihat dan mendengar hal-hal yang belum aku pahami. Yang kami tau orang tua kami sedang marah dan menangis. Dan lucunya kami berdua menangis bersama karna aku tau kami berdua takut melihat Ayah dan Ibu kami seperti itu.

Terdengar Ibuku berkata untuk minggat (keluar) dari rumah. Terlihat Ayahku mencoba membela dirinya, meminta maaf kepada Ibuku dan menjelaskan. Tapi ibuku terlihat berang saat itu. Dengan sambil berderai air mata, wajahnya memerah, ia mengambil tas dan memasukkan beberapa baju ke dalamnya. Aku dan adikku semakin kuat menangis seperti anak kecil yang kehilangan Ibunya.

Ibuku mengajak kami untuk ikut dengannya dengan nada yang benar-benar sangat tinggi. Aku tau Ibuku saat ini sedang kalut. Aku tau Ibuku saat itu sedang sedih “Jangan pergi bu, disini saja sama Bapak, Ibu mau kemana” sambil terus menangis kata-kata itu yang hanya bisa keluar dari mulut kami | “Ibu mau pergi, ayo ikut Ibu. Kalau gak mau ya sudah, Ibu tinggal” dan Ibu kemudian pergi dari rumah meninggal aku dan adikku yang masih menangis | Aku dan adikku hanya bisa menangis dan memintanya untuk tetap tinggal. Ayahku pun hanya bisa mencegah tanpa bisa berbuat apa-apa. Tapi syukurlah aku tau Ibuku pergi kerumah sahabatnya yang biasa aku panggil dengan sebutan Ibu Sri. Dia ini adalah ibu kedua ku setelah ibuku.

Ayahku mendekati kami yang masih menangis. Beliau mencoba menenangkan ku dengan mengusap kepalaku dengan lembut. Dalam hati aku hanya bisa berkata mengapa Ayah membuat Ibu sedih. Hanya itu yang sedari tadi aku pertanyakan. 


Kemudian dengan lembut Ayahku berkata “Sudah ya Nduk, jangan nangis lagi. Nanti Ibu pulang kok, Ibu cuma mau menenangkan diri saja. Sudah, Hesti juga jangan nangis lagi”

Dengan perginya Ibu pertengkaran mereda. Ayah membuatku mulai bisa bernapas lagi. Tangisku mulai berhenti dan aku mengajak adikku untuk menonton TV saja agar dia lupa dan tidak memikirkan Ibu. Seingatku saat itu Hesti masih kelas 6 SD *kalau gak salah sih*
Siang itu berlalu begitu cepat. Tak terjadi percakapan apa-apa setelah itu.

Sore hari Ibu kembali. Aku lega melihat Ibu kembali walau dengan wajah yang memperlihatkan dia baru saja menangis. Aku sedih melihat Ibuku seperti itu. 


Ibu mencari Ayahku. Yang keluar dari mulut Ibuku hanya kata cerai saat itu. Ibuku meminta aku dan adikku bersiap-siap untuk ikut dengannya ke rumah sahabatnya. Tapi aku dan adikku hanya diam tak menggubris kata-katanya. Aku dan adikku tak ingin pergi dari sini. Ibu dan Ayah kembali beradu mulut. Ayahku meminta Ibuku untuk tenang. Ayahku meminta waktu untuk diberi penjelasan. Tapi Ibu hanya bisa mengatakan cerai. Ibu semakin marah melihat kami tak bergerak untuk pergi. Dia membawa Hesti saja karna aku menolak untuk pergi. Aku memilih untuk disini menemani Ayahku. Kami berdua hanya bisa melihat Ibu pergi bersama Hesti. Dan tersisalah aku sendiri menangis dan kembali Ayahku menenangkanku. Aku senang bisa menemani Ayahku yang walau aku tau dia telah membuat Ibuku bersedih.


Malam mulai datang. Pada tahun itu daerahku belum semaju sekarang. Setiap malam adalah waktunya hari tanpa listrik. Kalaupun ada itupun akan mendapat gilirannya. 

Aku mencari lilin dan menyalakannya ditengah ruangan kecil. Rumah kami dulu hanyalah rumah dinas sederhana. Rumah panggung yang susunan kayunya berbunyi saat ada orang yang berjalan. Maklum rumah tua. Ayahku dan Ibu saat itu sedang membangun sebuah rumah di sebelah rumah dinas ini.


Malam itu aku hanya bisa duduk merangkul lututku dan menerawang api lilin itu. Duduk didekat lilin agar aku bisa mendapat cahaya. Diluar rumah sangat gelap. Lampu jalan belum ada saat itu. Apalagi aku adalah orang yang takut dengan kegelapan. Setelah selesai shalat Maghrib Ayahku mendatangiku. Dia duduk disebelah kananku dengan kembali mengelus kepalaku (thats a sweet moment, I love it) Ada raut kekhawatiran diwajahnya.

Ayahku mulai membuka suara. Dia mengatakan hal-hal yang seharusnya tidak boleh dikatakan. “Nduk, nanti kalau Ibu minta cerai sama Bapak, kamu milih ikut siapa?” | Pertanyaan yang berat yang seharusnya tidak boleh ditanyakan kepada seorang anak. Yuli kecil itu hanya bisa mulai menjatuhkan tetes demi tetes air matanya. Aku diam bergeming. Aku tetap melihat samar-samar api lilin yang kabur karena air mata ku yang menumpuk. Otakku mulai menerawang jauh. Aku mulai membenci wanita yang bernama Katarina ini. Aku juga mulai marah kepada Ayahku. Dalam hati aku tidak ingin ikut siapa-siapa.


Beberapa menit setelah pertanyaan itu keluar, ada langkah kaki seseorang yang datang. 

“Assalamualaikum” dengan suara khas seperti itu aku tau kalau yang datang itu Pakde. Dia adalah tetangga kami. Dia juga menempati rumah dinas sama seperti kami. Dia adalah sang pencerah bagiku kala itu. Dengan memakai peci coklat, sarung dan baju koko Pakde duduk di sebelah kiriku dan merangkul bahuku seperti biasa menggoyang-goyangkannya dan membuat pertahanan tubuhku goyah. Aku terbaring di pangkuannya. Yuli kecil saat itu hanya bisa tersenyum dan duduk kembali merangkul lututnya. Pakde mulai membuka suara. Dia menanyakan ada apa dengan kami. Dia mendengar percecokan antara Ayah dan Ibu siang tadi. Kemudian Ayah bercerita. Mereka saling bergantian bersuara. Aku tak terlalu paham apa yang mereka katakan. Yang masih aku ingat malam itu adalah malam yang panjang tanpa kehadiran Hesti dan Ibu ditengah-tengah kami.

*NB* : Kata yang berwarna kuning adalah kata yang harus dihindari orang tua kepada anaknya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maafkan Penulis karna sedang melewati masa-masa kritis

Waktu kembali meminta ragaku dan ragamu saling menjauh. Perlahan hati ini mulai mencari jalannya sendiri. Mulai meniti kesedihan yang pernah terukir. Sempat aku menyesal memulai kisah yang hampir sempurna ini. Hati ini kembali menggetarkan pipi. Mengundang tangis yang hampir saja mereda. Mata ini melihat sesosok rasa yang mencoba disembunyikan. Sia sia. Rasa itu mengoyak keluar. Menggores hati yang selama ini mencoba mengekang. Kini rasa itu menghancurkan segalanya. Malam ini aku kembali menjerit dalam doa. Tangisku tumpah turun membasahi penutup shalatku. Doa yang terpanjatkan lebih terdengar seperti lolongan minta tolong. Ini titik terlemahku. Aku baru saja bertemu kembali dengan dia yang entah masih aku cinta atau tidak. Pertemuan singkat namun mampu membuatku kembali harus membangun benteng pertahanan. Kalau boleh aku meminta, aku tidak ingin pertemuan kemarin terjadi. Air mataku semakin deras turunnya. Kembali aku mengusap air mata ini. Menahan rasa sesak ya...

22 Agustus 2012

Ku melihatnya di.bawah, mengambil sebuah cincin, berwarna biru. Aku berteriak “maling”!!! Dia mendatangi.ku. “Kenapa?” kata.ku. Dia menunjuk sebuah foto. “Itu ayahmu yah, kalo dia kenapa-kenapa gmna yah?” “Kau mau apain ayah.ku, nda akan bisa kau apa-apain dia, kau tu Tar, knpa juga kau begitu, mau sampai kapan kau begini. Senang.kah kau dibicarakan orang, senang kau dibenci sama orang, sudahlah Tar, tua bha sudah kita nie.” Aku terdiam sejenak, mengambil napas panjang, dan tanpa aku sadari aku mengatakannya.  “Sebenarnya aku tu sayang bha sama kau Tar (wajahnya terlihat kaget), tapi ya…” Mata.ku terbuka. Aku terdiam. Wajahnya masih ku ingat jelas, hingga aku menuliskan ini, senyum kagetnya itu masih terasa berada di depanku. *Tar = Muktar *Muktar = Temen SDku yang pernah aku suka waktu itu, dan sekarang dia sudah berada ditempat yang berbeda. I hope he Rest In Peace :)

Aku Kembali dari Kematian Pikiranku

Aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai melupakan sisi diri ku yang senang menulis. Ya seperti saat ini, hari ini tanggal 17 November 2024 Tuhan mengajakku bernostalgia dengan membawa ku kembali ke masa itu. Masa dimana aku mampu menikmati hidup, merenungi setiap hal dan kejadian, mengistimewakan setiap momen yang terjadi dan tidak tau bagaimana rasanya kelelahan.  Hari ini, Tuhan mengajarkan aku bahwa beberapa tahun kebelakang adalah tanda bahwa aku hanyalah manusia. Manusia adalah tempat lupa dan lalai. Begitupun aku, yang lupa apa yang membuat aku hingga sampai disini. Ingin rasanya aku segera rangkum semuanya, tapi kalau seperti itu, aku akan melewatkan momen spesialnya dari setiap kejadian. “ Karna tidaklah terjadi suatu kejadian agar bisa kita petik hikmahnya ” ini adalah kalimat yg membayangi ku beberapa hari terakhir. Selalu terngiang dan membuatku terasa sangat sesak beberapa hari ini. Apakah mungkin karna ini? Karna Tuhan ingin aku kembali menuliskan semua momen itu untuk...