Langsung ke konten utama

Baitul Arqam or Sabran Part 1


26 Februari 2013

Wah, hari ini sabran (baca:sobron). Pasti disana ada banyak hal yang bisa aku dapatkan sebagai bahan tulisanku. Sebelumnya, aku ingin bertanya, ngerti ngak sih sabran itu apa? Pasti banyak deh yang ngak ngerti. Intinya saja ya, sabran itu semacam kehidupan pesantren. Tapi, kalau pesantren itukan lama, nah kalau sabran itu cuma sebentar. Sabran yang aku lakukan ini, memakan waktu selama 4 hari 3 malam.

Hari pertama sabran >>
Wah, mulai hari ini dan 4 hari kedepan, aku akan berada disini. Semoga bermanfaat  Ya Allah.
Materi pertama berada di dalam kelas. Dan selama empat hari kedepan, kami akan dibimbing oleh 3 fasilitator.

Personil 1 : Pak Furqon
Tinggi, kurus, logat Makassar. Sekilas, seperti itulah Pak Furqon. Banyak hal yang aku suka dari beliau. Selama mengajar, beliau bisa mencairkan suasana. Sebenarnya, aku ingin memberitahukan kepada beberapa orang yang PERNAH/SAMPAI SEKARANG menganggap kalau seorang muslim taat itu kaku. Tapi, tidak untuk beliau. Muslim taat itu menyenangkan, membahagiakan, menenduhkan jiwa yang haus akan kedamaian. Satu hal yang membuatku susah melupakan beliau, dia suka membuat kutipan. Fix, aku terhipnotis untuk segera mengambil pena dan menorehkannya di lembar kertas putihku.

Personil 2 : Pak Ridho
Beliau persis seperti ayah.ku. Persis banget. Detail dalam menjelaskan, cara menggerakkan bibir, cara.nya menyampaikan materi, guyonannya juga sama persis. Melihat beliau itu, seperti melihat ayah.ku. Gara-gara Pak Ridho, rasa rindu.ku ke ayah.ku itu bisa sedikit terobati.

Personil 3 : Bu Idha
Fasilitator yang paling cantik (yaiyalah, secara cewe sendiri :D).

Pagi itu, materinya tentang zakat. Zakat itu ada yang namanya shadaqah. Kata Pak Furqon, shadaqah itu dapat berupa apa saja. Senyum juga termasuk shadaqah. Sementara Pak Furqon sibuk dengan penjelasannya, aku juga sibuk dengan pikiranku sendiri.

Selama ini aku berpikir, aku bahagia maka aku akan tersenyum. Berarti, senyum itu adalah tanda bahwa aku bahagia.

Namun, kali ini aku berpikiran lain. Senyum itu indah. Senyum itu adalah ungkapan bahwa hati si pemilik senyum itu baik. Senyum itu shadaqah. Berpahala. Membuat orang lain menyenangi kita. Otomatis, kita bahagia. Fix. Jadi, yang selama ini aku lakukan itu salah dong? Dulu aku tersenyum ketika aku bahagia. Tapi, mulai hari ini, aku janji, aku akan tersenyum agar aku bahagia. Aku tak perlu bahagia untuk tersenyum. Karna, bahagia itu akan ada ketika senyum itu ada.

Pak Furqon terima kasih. Berkat anda, aku memiliki keyakinan baru, yang lebih membuatku menjadi lebih baik. Aku suka ini ;)

Kesimpulannya, Amazing !!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sampai Nanti :)

Backsound by Threesixty-Sampai Nanti Halo malaikatku. Sekarang kau telah menjadi salah satu bintang yang sampai sekarang masih dapat ku lihat terangnya. Sejak banyaknya angin menghempas tali diantara kita, perlahan aku mengiyakan mu menjadi salah satu bintang di langitku. Siang ini langit mendung, dan tugas-tugasku pun sudah selesai ku kerjakan. Rasanya kalau kau sudah tak berada di sisiku pun sekarang aku terbiasa. Dan mungkin ini adalah cerita terakhir ku tentangmu. Dimana kan ku simpan semua harapan ini disaat ku temui, jalan yang tak bertepi Tak pernah ku lupa bagaimana kita dulu meminta saling menjaga satu sama lain. Menjatuhkan pilihan padamu dan padaku. Berharap jika ini nantinya berjodoh. Satu tiga lima tujuh bulan berjalan. Seperti hubungan lainnya kita diterpa berbagai masalah. Delapan sepuluh dan satu tahun hubungan kita terlalui, ada banyak hal yang dapat kita ambil sarinya, ilmu bahkan pahitnya rasa.   Seiring redup hati selimuti senyummu ta...

22 Agustus 2012

Ku melihatnya di.bawah, mengambil sebuah cincin, berwarna biru. Aku berteriak “maling”!!! Dia mendatangi.ku. “Kenapa?” kata.ku. Dia menunjuk sebuah foto. “Itu ayahmu yah, kalo dia kenapa-kenapa gmna yah?” “Kau mau apain ayah.ku, nda akan bisa kau apa-apain dia, kau tu Tar, knpa juga kau begitu, mau sampai kapan kau begini. Senang.kah kau dibicarakan orang, senang kau dibenci sama orang, sudahlah Tar, tua bha sudah kita nie.” Aku terdiam sejenak, mengambil napas panjang, dan tanpa aku sadari aku mengatakannya.  “Sebenarnya aku tu sayang bha sama kau Tar (wajahnya terlihat kaget), tapi ya…” Mata.ku terbuka. Aku terdiam. Wajahnya masih ku ingat jelas, hingga aku menuliskan ini, senyum kagetnya itu masih terasa berada di depanku. *Tar = Muktar *Muktar = Temen SDku yang pernah aku suka waktu itu, dan sekarang dia sudah berada ditempat yang berbeda. I hope he Rest In Peace :)

Maafkan Penulis karna sedang melewati masa-masa kritis

Waktu kembali meminta ragaku dan ragamu saling menjauh. Perlahan hati ini mulai mencari jalannya sendiri. Mulai meniti kesedihan yang pernah terukir. Sempat aku menyesal memulai kisah yang hampir sempurna ini. Hati ini kembali menggetarkan pipi. Mengundang tangis yang hampir saja mereda. Mata ini melihat sesosok rasa yang mencoba disembunyikan. Sia sia. Rasa itu mengoyak keluar. Menggores hati yang selama ini mencoba mengekang. Kini rasa itu menghancurkan segalanya. Malam ini aku kembali menjerit dalam doa. Tangisku tumpah turun membasahi penutup shalatku. Doa yang terpanjatkan lebih terdengar seperti lolongan minta tolong. Ini titik terlemahku. Aku baru saja bertemu kembali dengan dia yang entah masih aku cinta atau tidak. Pertemuan singkat namun mampu membuatku kembali harus membangun benteng pertahanan. Kalau boleh aku meminta, aku tidak ingin pertemuan kemarin terjadi. Air mataku semakin deras turunnya. Kembali aku mengusap air mata ini. Menahan rasa sesak ya...